Kejatuhan Konstantinopel dan Titik Balik Sejarah Dunia
29 Mei 1543, tembok tebal kota itu akhirnya runtuh. Konstantinopel telah jatuh.
Tulisan singkat ini tidak akan membahas bagaimana proses penyerbuan dan pengepungan kota suci Konstantinopel, tapi hanya berfokus pada akibat yang muncul setelah peristiwa tersebut terjadi.
Jatuhnya Konstantinopel yang memang sudah melemah pada tahun 1453 seharusnya bukanlah hal yang megejutkan, dan kejatuhannya pun memang tinggal menunggu waktu saja. Namun, peristiwa ini terbukti telah menjadi titik balik bagi sejarah dunia modern.
Sejarah mencatat ada tiga dampak besar yang muncul dari jatuhnya Konstantinopel ini, yang dampaknya pun masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Terciptanya Kekosongan
dampak pertama adalah, setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, dan disusul dengan jatuhnya Konstantinopel, sebagian besar Eropa mulai dihantui oleh kenangan akan masa lalu Romawi, oleh pencapaian dan kejayaan Romawi, serta oleh representasi Romawi.
Hal ini terjadi karena Romawi pada waktu itu telah menjadi sebuah otoritas yang menyeluruh, acuan dasar dari sebuah imperium yang sesungguhnya, dan representasinya pun telah tersebar di hampir seluruh dunia. Bahkan di era sekarang pun masih ada beberapa gedung pemerintah dengan arsitektur neoklasik Romawi, seperti US Capitol di Washington DC, Amerika Serikat, Congreso Nacional di Buenos Aires, Argentina, hingga El Capitolio di Havana, Kuba.
Pada awal era ini, pemikiran mengenai dampak jatuhnya Konstantinopel didasarkan pada konsep abad pertengahan yakni translatio imperii, yaitu peralihan kekuasaan atau otoritas, sebagai prinsip pengorganisasian sejarah.
Para ahli di Eropa yang mengamati dunia pada saat itu menyimpulkan bahwa semua sejarah waktu itu didasarkan pada suksesi kekaisaran, yang saling mengikuti dan berganti berdasarkan kehendak takdir dan ilahi — orang Tiongkok menyebut istilah ini dengan “mandat langit” — yakni ketika kekaisaran atau pemimpin telah kehilangan perannya atau sudah tidak pantas, maka akan muncul kekaisaran atau pemimpin yang baru untuk menggantikannya.
Peristiwa serupa dalam skema sejarah ini adalah, Kerajaan Babilonia digantikan oleh Persia, Persia digantikan oleh Yunani, dan Yunani digantikan oleh Romawi. Lalu setelah Romawi runtuh, ada sebuah kekosongan yang tercipta. Dan kekosongan inilah yang akan menjadi titik balik.
Keinginan untuk Menjadi Adikuasa Baru
Dampak kedua dari peristiwa ini adalah munculnya upaya untuk menjadi kekuatan adikuasa baru; Para sultan Utsmaniyah menganggap diri mereka sebagai kaisar Romawi baru.
Misalnya Muhammad Al Fatih, setelah ia berhasil merebut Konstantinopel, Ia menjuluki dirinya sebagai “Kayser-i Rum” atau Kaisar Romawi. Al Fatih kemudian membuat rencana untuk merebut Roma di Italia guna melengkapi kemenangannya, meskipun pada akhirnya ia tetap tidak mampu untuk menaklukkan Roma.
Dan Konstantinopel, alih-alih menghilang dan terbengkalai, kota ini justru mulai bangkit kembali di bawah pemerintahan Utsmaniyah, bahkan menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan sekali lagi menjadi titik strategis bagi Utsmaniyah.
Di bawah pemerintahan Utsmaniyah, kota ini akhirnya mulai dikenal dengan nama Istanbul — terjemahan bahasa Turki dari frasa Yunani yang berarti ‘ke kota’ (eis tin polin) — namun secara resmi kota ini masih bernama ‘Konstantiniyye’ hingga runtuhnya Kekaisaran Utsmaniyah setelah Perang Dunia I. Kota ini kemudian secara resmi bernama ‘Istanbul’ pada tahun 1930.
Bayang-Bayang “Roma Ketiga”
Impian untuk mewarisi kekaisaran Romawi juga sangat berpengaruh dalam sejarah Russia, karena Russia mengadopsi kepercayaan Ortodoks dari Romawi Timur (Kekaisaran Bizantium) yang ber-ibukota-kan Konstantinopel. Hubungan spiritual dan sejarah inilah yang menjadi dasar kuat dalam gagasan mengenai Russia sebagai ‘Roma Ketiga’.
Ketika Konstantinopel jatuh, para biarawan Russia mengumumkan kepada Tsar — atau Kaisar — Moskow, bahwa Roma pertama telah jatuh, dan kini Konstantinopel, Roma kedua, juga telah jatuh. Ini berarti bahwa sekarang kekuatan Moskow akan menjadi Roma ketiga, selamanya.
“The Czar is on Earth the sole emperor of the Christians, the leader of the Apostolic Church which stands no more in Rome or Constantinople, but in the blessed city of Moscow… Two Romes fell, a third stands, and there will not be a fourth one.” — Philotheus
Pernikahan Tsar Ivan III dengan Sophia Palaiologina yang merupakan keponakan kaisar Bizantium, Constantine XI, juga dimaksudkan untuk memperkuat klaim tersebut. gagasan Roma Ketiga pun semakin melekat pada Moscow selama berabad-abad. Lambang Russia, Kekaisaran Russia, hingga Federasi Russia saat ini adalah elang berkepala dua, yang sebelumya merupakan lambang dari Kekaisaran Bizantium.
Ambisi untuk menjadi “Roma Ketiga” menimbulkan dorongan kuat pada kebijakan luar negeri Russia; mereka ingin merebut kembali Konstantinopel , yang dalam bahasa Russia disebut Tsargrad, atau ‘Kota Kaisar’. Selama berabad-abad, para Tsar dan Tsarina (terutama Catherine the Great) menjadikan tujuan ini sebagai misi yang mereka kejar.
Namun, Russia bukanlah satu-satunya kekaisaran yang berambisi untuk berdiri di ujung garis suksesi Kekaisaran Romawi. Masih ada Kekaisaran lain yang memiliki ambisi yang sama. Di Jerman, Kekaisaran Romawi Suci sebagaimana sebutannya di abad pertengahan, juga diklaim sebagai penerus Romawi.
Kemudian pada abad ke-19, pemimpin Prancis, Napoleon Bonaparte, melakukan ekspansi di Eropa dan mulai menciptakan Grand Empire, juga menggunakan simbol-simbol Romawi. Napoleon juga memiliki keinginan untuk merebut Konstantinopel dan Laut Hitam.
Ketika Russia menawarkan pertukaran wilayah kepada Napoleon agar Russia dapat menguasai Konstantinopel, Napoleon menolak. Ia mengumumkan bahwa siapapun yang memegang kota Konstantinopel, maka ia memiliki kunci kekuatan universal, karena Roma dan Konstantinopel adalah imperium dunia. Dan Napoleon menginginkan Konstantinopel untuk dirinya sendiri.
Romawi adalah titik poros geopolitik dengan kekuatan strategis yang besar. Hal ini dibuktikan dengan “Impian Romawi” yang masih bertahan hingga abad ke-20. Diktator Jerman, Adolf Hitler, dalam usahanya mendirikan kekuasaan, juga menggunakan model dan gaya Romawi.
Gestur pasukan Nazi yang mengulurkan tangan — gestur hormat Nazi — merupakan gestur yang hampir sama dengan gestur hormat Romawi (Roman Salute). Selain itu, kekuatan Nazi-nya, yang diperkirakan akan bertahan selama seribu tahun, juga dilengkapi dengan arsitektur neoklasik yang mengingatkan kita pada masa kekuasaan Romawi.
Dan pada akhirnya, kenangan akan kejayaan Romawi telah menjadi pemicu bagi banyak pemimpin dan kelompok ambisius yang berbeda sepanjang zaman modern.
Perubahan Peta Politik Dunia
Dan akibat yang terakhir dari Jatuhnya Konstantinopel adalah terjadinya perubahan peta dunia pada pola pikir manusia. Kemunduran dan kejatuhan kota kekaisaran besar itu berkontribusi pada era yang telah terjadi di Eropa, yaitu Renaisans.
Buku-buku sejarah yang lebih tua biasanya menyatakan sebuah pola yang sederhana, bahwa para cendekiawan, penulis, dan intelektual berbahasa Yunani telah melarikan diri dari Konstantinopel ketika kota itu jatuh, dengan membawa semua harta benda yang paling berharga seperti naskah-naskah klasik kuno, serta naskah-naskah yang memicu gerakan renaisans, gerakan yang penuh semangatt untuk menghidupkan kembali model klasik dengan pembelajaran humanistik.
Namun, menurut para sejarawan, polanya jauh lebih rumit daripada itu. Para intelektual yang cerdik dan realistis sebenarnya telah meninggalkan Konstantinopel jauh sebelum tahun 1453 dimana peristiwa kejatuhan itu terjadi. Mereka sudah lama menyebarkan naskah dan pengetahuan pribadi mereka. Diperkirakan dari 55.000 naskah tulisan Yunani kuno yang kita miliki saat ini, sekitar 40.000 diantaranya kita peroleh dari Konstantinopel.
Jatuhnya Konstantinopel juga menimbulkan masalah geografis bagi bangsa Eropa, karena jalur perdagangan dengan Timur yang dulunya melewati Kekaisaran Bizantium, kini berada di tangan Kesultanan Utsmaniyah Turki.
Namun jalur ini tidak ditutup sepenuhnya, karena perdagangan masih terus berlanjut, sebagian dibantu oleh pedagang Venesia dan Genoa yang masih berdagang dengan Turki. Namun, bangsa Eropa tetap ingin mengurung Turki dengan mencari dan membuka rute alternatif baru untuk berdagang. Tindakan inilah yang kemudian mengantarkan Eropa ke “zaman penjelajahan”, dimana banyak pelaut-pelaut akan menemukan wilayah-wilayah baru, salah satunya Colombus yang menemukan daratan Amerika, serta Vasco Da Gama yang menemukan jalur laut dari Eropa yang langsung menuju India.
Dengan demikian, hilangnya Roma telah menciptakan kekosongan, dan kekosongan tersebut merupakan sebuah titik balik, untuk terjadinya peristiwa-peristiwa besar setelahnya.